Tidak apa-apa pakai baju yang itu-itu saja

Tidak apa-apa pakai baju yang itu-itu saja

Oleh : Yazilatun Nadhiyah

Lebaran identik dengan baju baru, saat momentum silaturohmi dengan anak-anak biasanya pertanyaan baju lebarannya ada berapa? sering ditanyakan. Hal ini adalah jenis pertanyaan basa-basi yang tanpa kita sadari menjadi "budaya", saat lebaran maka sudah sewajarnya orang tua membelikan anak-anaknya baju baru.

Baju baru saat lebaran tentu sah-sah saja, itu merupakan ungkapan kegembiraan, rasa syukur, perwujudan bentuk dari berbagi keceriaan. Meski demikian tidak memakai baju baru juga tidak apa-apa, bagi mereka yang sudah dewasa tentunya harus mampu memaknai lebaran lebih dari sekedar baju baru namun momentum yang tepat untuk merefleksi diri pasca 1 (satu) bulan berpuasa. Lebaran adalah saat yang sakral untuk mensucikan diri, hati dan niat, melakukan perbaikan ke arah yang lebih baik.

Fenomena baju baru menarik untuk didiskusikan, dari segi pecinta fashion "baju" adalah sesuatu yang sakral yang melambangkan jati diri, ekspresi, seni hingga budaya, lebih dari sekedar penutup aurat. Bagi para pecinta fashion, baju mengalami pergeseran waktu yang cepat, beda musim beda model dan beda bahan. Pengikut fashion tentu harus selalu membuka mata dan telinga lebar-lebar agar tidak ketinggalan jaman. Bagi pecinta lingkungan, baju mohon maaf kadang kala dianggap "pemborosan". Banyak penelitian membuktikan kalau sampah dari jenis pakaian sangat banyak dan cenderung susah untuk diuraikan sehingga merusak lingkungan.

Perspektif lain muncul dari dunia bisnis, budaya menggunakan baju baru saat lebaran termasuk saat yang dinanti-nanti oleh pengusaha pakaian. Lebaran biasanya identik dengan peningkatan omset jual yang tentunya hal ini bagus karena menggerakkan perekonomian. Persoalan baju baru saja banyak perspektif yang bisa kita ambil dan diskusikan.

Penulis teringat ketika berkuliah di Korea Selatan, ada seorang dosen yang tiap mengajar di hari rabu siang selama satu semester selalu mengenakan baju yang itu-itu saja. Setelah ditanyakan, ternyata sang dosen mengaku hanya memiliki 7 stel baju, 3 stel baju tidur, 1 stel baju jas resmi dan 1 baju olahraga. Total hanya 12 stel baju yang dia miliki. Sang dosen merasa setelah memiliki sedikit baju, beliau tidak stres, setiap pagi tidak perlu bingung memakai baju mana yang akan digunakan, karena sudah jelas senin sampai minggu akan memakai baju apa.

Memiliki sedikit baju menurutnya juga membuatnya tidak menunda-nunda waktu untuk mencuci, hasilnya rumah menjadi lebih bersih dan rapi. Rupanya budaya memiliki sedikit barang ini membuat hidupnya jauh lebih sehat. Melalui tulisan ini penulis ingin berbagi mengenai perspektif bahwa kita, manusia lebih dari sekedar baju yang kita kenakan. Memakai baju tidak harus "baru", apabila bisa baru tentu bagus namun yang terpenting adalah "nyaman" dan sesuai tempatnya. Jadi mari percaya diri meski memakai baju yang itu-itu saja.

Ayo kita cek lemari kita, berapa banyak baju yang kita punya? jangan-jangan ada yang bahkan sama sekali belum pernah kita pakai. (YAZ)

What's Your Reaction?

like
2
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0